MASONRY ABAD KEDUA PULUH: DIAM-DIAM DAN DARI KEJAUHAN

MASONRY ABAD KEDUA PULUH:
DIAM-DIAM DAN DARI KEJAUHAN


Tentunya tampak bahwa sejauh yang telah kita kaji, aktivitas kaum Mason di negara seperti
Prancis, Jerman, Italia, dan Rusia, jelas-jelas menunjukkan sasaran Masonry berupa revolusi
sosiopolitis. Masonry hendak membangun sebuah tatanan baru di mana lembaga-lembaga keagamaan
dan keyakinan religius dihapuskan, dan untuk mencapai tujuan ini mereka telah berupaya
menggulingkan monarki-monarki pendukung agama. Pada banyak negara Eropa, loge-loge Masonik
menjadi pusat berkumpulnya para penentang agama, di sana disusun konspirasi untuk berbagai kudeta,
pemberontakan, pembunuhan, plot politis dan politik antiagama. Di balik aneka aktivitas tersebut, baik
berskala kecil atau besar, yang telah berlangsung sejak Revolusi Prancis di tahun 1789 hingga abad
kedua puluh, ditemukan pengaruh Masonry.

RITUS ANEH DI KUIL HUMANISME

Kaum Mason ingin menjadikan seluruh dunia sebagai sebuah “kuil”. Namun, kuil yang mereka
mimpikan bukan kuil agama sejati melainkan kuil humanisme. Mereka mengimpikan sebuah dunia
tempat humanitas diberhalakan, dan manusia telah sepenuhnya mengingkari agama sejati, serta filosofi
evolusionis dianggap sebagai satu-satunya filosofi yang benar.
Di dalam teks Masonik, sebuah upacara aneh yang diselenggarakan untuk maksud ini dijelaskan:
Saat ini, sebuah agama universal sedang mewujud, seperlahan-lahan mungkin, sehingga dapat
memuaskan kesadaran akan artinya yang sepenuhnya…. Bersamaan dengan agama universal ini, sebuah
moralitas akan terbangun sepadan dengan pandangan akan dunia…. Agama seperti ini akan menyatukan
umat manusia di alam semesta. Itulah MASONRY. Agama ini akan diteruskan dari hati ke hati. Kuil
agama ini kelak adalah kuil humanitas. Di antara himne yang dinyanyikan di dalam kuil ini barangkali
Simfoni ke-9 Beethoven, komposisi musik paling mulia yang pernah muncul dari jiwa manusia.
Alih-alih daging dan darah banteng sebagaimana pada upacara-upacara Mithra, kita merayakan
kelahiran ini dengan memakan roti dan meminum anggur merah. Di sini kita bersatu di dalam
kepercayaan bersama yang mempunyai karakter sebuah komuni. Di sebuah tahun baru, Saya ingin
membaptiskan perjuangan suci kita ini dan mengakhirinya: Makanlah sepotong roti lagi, saudara saudaraku, kalian adalah misionaris agama ini, biarlah semua orang suci yang berbagi roti ini menjadi
teman. Saudara-saudaraku, untuk menjadi saudara sedarah, minumlah seteguk nyala lagi dari gelas
anggur kalian. ( Mason, Tahun, 29, No. 40-41, 1981, hal. 105-107)
Menurut sejarawan Inggris Michael Howard, loge-loge Masonik memfokuskan upaya mereka
pada paro kedua abad kesembilan belas untuk menumbangkan dua Kekaisaran penting yang tersisa:
Kekaisaran Austro-Hungaria dan Rusia, dan dapat mencapai sasaran mereka sebagai akibat Perang
Dunia I. Dengan kata lain, pada awal abad kedua puluh, dalam skala luas, Masonry telah mencapai sasaran revolusi sosio politiknya.
Oleh karena itu, abad kedua puluh bukanlah sasaran revolusi Masonik. Karena beranggapan tidak
menghadapi halangan lagi, alih-alih merencanakan plot-plot politik, kaum Mason lebih suka
menyebarkan filosofi mereka. Mereka menebarkan filosofi materialis dan humanis kepada massa
dengan kedok sains, atau melalui seni, media, sastra, musik dan semua wahana budaya populer. Dengan
propaganda ini kaum Mason tidak bermaksud menghapuskan agama-agama ilahiah melalui sebuah
revolusi seketika; mereka hendak mencapainya melalui jangka panjang, dan memperkenalkan filosofi
mereka kepada semua orang sedikit demi sedikit.
Seorang Mason berkebangsaan Amerika menyimpulkan metode ini sebagai berikut:
Freemasonry bekerja dengan diam-diam, namun ini adalah kerja bagaikan sebuah sungai yang dalam, yang diam-diam mendorong menuju lautan.
Pendeta tinggi J.W. Taylor, dari negara bagian Georgia di AS, membuat komentar menarik ini
tentang hal yang sama:
Pengalihan tema-tema lama dan pembentukan yang baru tidak selalu timbul dari penyebab yang
segera tampak yang ditetapkan dunia, namun merupakan kulminasi dari prinsip-prinsip yang telah
bekerja selama bertahun-tahun dalam pikiran manusia, sampai akhirnya waktu yang tepat dan
lingkungan yang sesuai menghidupkan kebenaran laten itu... menggairahkan semua dengan sebuah
penyebab umum yang kuat dan menggerakkan bangsa-bangsa laksana satu diri menuju pewujudan akhir
yang agung. Dengan prinsip inilah Lembaga Freemasonry menyebarkan pengaruhnya ke dunia manusia.
Freemasonry bekerja secara diam-diam dan rahasia, namun menerobos semua celah masyarakat dalam
banyak relasinya, dan mereka yang menerima banyak kebaikannya terpesona akan pencapaiannya
yang luar biasa, tetapi tidak dapat menduga dari mana datangnya.
Menurut majalah Voice yang diterbitkan oleh Loge Besar di Chicago, ” Maka, secara diamdiam
namun pasti dan berkesinambungan, Masonry mengisi struktur besar masyarakat manusia”
”Pengisian struktur besar” ini akan terwujud ketika dasar-dasar filosofi Masonik materialisme,
humanisme, dan Darwinisme diterima masyarakat.
Aspek paling menarik dari strategi diam-diam dan jauh ini adalah bahwa para Mason yang
melaksanakannya hampir tidak pernah mengungkapkan bahwa hal itu dilaksanakan atas nama Masonry.
Mereka melakukan pekerjaannya di bawah berbagai identitas, judul, posisi kekuatan yang berbeda,
namun mereka menyebarkan filosofi yang mereka ambil melalui Masonry kepada masyarakat. Seorang
Imam Mason Turki, Halil Mulkus, menjelaskan ini dalam sebuah wawancara beberapa tahun yang lalu:
Masonry sebagai Masonry tidak melakukan sesuatu pun. Masonry menuntun pribadi-pribadi; dan
pribadi-pribadi yang terlatih di sini, serta para Mason yang berkontribusi bagi produksi perkembangan intelektual berada pada berbagai tingkat dalam karir mereka di tempat tinggal mereka di dunia. Mereka
adalah rektor-rektor universitas, profesor, menteri negara, dokter, kepala administrasi di rumah sakit,
pengacara, dan sebagainya. Di mana pun mereka hidup, mereka bertekad keras untuk menyebarkan ideide
Masonik yang telah membentuk mereka ke tengah masyarakat.
Namun, ide-ide ini, yang dengan gigih dikaji dan coba diindoktrinasikan kepada masyarakat,
sebagaimana telah kita pahami pada bagian-bagian sebelumnya, tidak lebih dari kebohongan. Filosofi
Masonry berakar dari berbagai sumber seperti mitos-mitos Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan Kabbalah.
Dalam hasrat mereka untuk menyampaikan mitos-mitos ini kepada masyarakat, terkemas dalam paket
sains dan logika, Mason menipu baik diri mereka maupun orang lain. Dalam era globalisasi, inilah peran
”Freemasonry Global”.
Hasil dari kebohongan ini sangat merusak. Program menjauhkan masyarakat dari agama yang
dijalankan oleh Masonry di abad kedelapan belas dan kesembilan belas, membangkitkan berbagai
ideologi neo-pagan seperti rasisme dan fasisme, serta ideologi sekuler dan kejam seperti komunisme.
Penyebaran Darwinisme sosial mengubah manusia menjadi hewan yang berjuang untuk keberadaannya,
yang hasil brutalnya muncul di paro kedua abad kesembilan belas dan kedua puluh. Perang Dunia I
adalah hasil karya para pemimpin Eropa yang, atas anjuran Darwin, memandang perang dan
pertumpahan darah sebagai kebutuhan biologis. Selama perang, sepuluh juta orang mati sia-sia. Perang
Dunia II yang mengikutinya, yang menyebabkan kematian 55 juta orang, juga merupakan hasil karya
totalitarianisme, seperti fasisme dan komunisme, yang merupakan hasil dari benih sekularisme militan
yang ditaburkan oleh kaum Mason. Di seluruh penjuru dunia, selama abad kedua puluh, semua perang,
konflik, kekejaman, kesewenang-wenangan, eksploitasi, kelaparan, dan kemerosotan moral yang
destruktif, pada dasarnya adalah produk dari berbagai filosofi dan ideologi tak beragama. (Untuk
rinciannya, lihat karya Harun Yahya, Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme).
Singkatnya, filosofi Masonry telah berbuah kepahitan. Kejadiannya tidak bisa sebaliknya
sebagaimana pada hukum ilahiyah. Secara historis, orang-orang pagan yang menolak agama Tuhan itu,
dengan merujuk pada berbagai mitologi tradisional dan agama nenek moyang mereka, menempuh jalan
menuju kehancuran. Freemasonry, sebuah pewujudan masa kini dari paganisme ini, sedang menyeret
diri mereka, dan seluruh dunia kepada jurang kebinasaan.
Oleh karena itulah umat manusia harus melindungi diri dari potensi malapetaka ini, dengan
mengatasi intimidasi dari apa dirujuk oleh Bediuzzaman Said Nursi, seorang sarjana Islam, sebagai
”penyakit yang bernama materialisme dan naturalisme”, dan dengan begitu mempertahankan keimanan
masyarakat.

http://www.harunyahya.com

Leave a Reply