Materialisme Di Dalam Sumber Masonik

Materialisme Di Dalam Sumber Masonik

I. KEYAKINAN AKAN MATERI ABSOLUT

Kaum Mason masa kini, sebagaimana para fir’aun, pendeta, dan kelas-kelas lain dari Mesir Kuno,
memercayai bahwa materi kekal dan tidak diciptakan, dan bahwa dari materi tak berjiwa ini makhluk hidup dapat muncul secara kebetulan. Di dalam tulisan-tulisan Masonik kita dapat membaca penjelasan
terperinci dari unsur-unsur dasar filosofi materialis.
Di dalam bukunya, Masonluktan Esinlenmeler (Inspirasi dari Freemasonry), Imam Mason Selami
Isindag menulis tentang filosofi materialis Masonry yang sebenarnya:
Seluruh angkasa, atmosfer, bintang-bintang, alam, seluruh makhluk hidup dan tak hidup tersusun
dari atom-atom. Manusia tidak lebih dari kumpulan atom-atom yang terbentuk secara spontan.
Keseimbangan pada arus listrik di antara atom-atom memastikan kelangsungan hidup makhluk hidup. Ketika keseimbangan ini rusak (bukan listrik di dalam atom itu), kita mati, kembali ke bumi dan
mengurai menjadi atom-atom. Artinya, kita berasal dari materi dan energi, dan kita akan kembali
menjadi materi dan energi. Tumbuhan memanfaatkan atom-atom kita, dan semua makhluk hidup
termasuk kita memanfaatkan tumbuhan. Segala sesuatu terbuat dari zat yang sama. Namun karena otak
kita mengalami evolusi tertinggi dibandingkan semua hewan, muncullah kesadaran. Jika kita
amati hasil-hasil psikologi eksperimental, kita melihat bahwa pengalaman psikis tiga sisi dari emosi pikiran- kemauan adalah hasil dari sel-sel lapisan luar otak dan hormon-hormon yang berfungsi
seimbang…. Sains positif memercayai bahwa tidak ada yang menjadi ada dari ketiadaan, dan
tidak ada yang akan musnah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia tidak perlu bersyukur
atau menurut kepada kekuatan apa pun. Alam semesta adalah sebuah totalitas energi tanpa awal
dan akhir. Segala sesuatu lahir dari totalitas energi ini, berevolusi dan mati, tetapi tidak pernah
benar-benar sirna. Benda-benda berubah dan bertransformasi. Sama sekali tidak ada hal-hal semacam
kematian atau kehilangan, yang ada ialah perubahan yang terus-menerus, transformasi dan formasi.
Namun mustahil menjelaskan pertanyaan besar dan rahasia universal ini dengan hukum-hukum ilmiah.
Walau demikian penjelasan ekstra-ilmiah adalah deskripsi khayalan, dogma dan kepercayaan yang sia-sia.
Menurut sains dan logika positivis, tidak ada jiwa di luar tubuh. Anda akan menemukan pandangan-pandangan yang identik dengan kutipan di atas pada buku-buku pemikir materialis seperti K. Marx, F. Engels, V.I. Lenin, G. Politzer, C. Sagan, dan J. Monod. Mereka semua memercayai mitos utama materialis bahwa alam semesta selalu ada, materi adalah satu entitas keberadaan yang mutlak, materi berevolusi di dalam dan di luar dirinya, dan kehidupan muncul sebagai hasil dari perubahan. Tepat sekali penggunaan istilah mitos di sini karena, berlawanan dengan klaim Isindag bahwa “proses-proses ini adalah hasil dari sains dan logika positif”, semua pandangan ini telah digugurkan oleh penemuan-penemuan ilmiah di paro kedua abad kedua puluh. Misalnya, teori Big Bang yang telah diterima di kalangan ilmiah menunjukkan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan jutaan tahun yang lalu. Hukum Termodinamika menunjukkan bahwa materi tidak memunyai kemampuan untuk mengorganisasi dirinya sendiri, sehingga keseimbangan dan keteraturan di alam semesta adalah hasil dari suatu penciptaan sadar. Dengan menunjukkan desain luar biasa pada makhluk hidup, biologi membuktikan keberadaan sang Pencipta yang menciptakan kesemuanya. (Untuk perincian, lihat karya Harun Yahya, Penciptaan Alam Raya, Darwinisme yang Terbantahkan, Keruntuhan Teori Evolusi) Di dalam artikel ini, Isindag selanjutnya menjelaskan bahwa pada kenyataannya kaum Mason adalah materialis dan karenanya, ateis; juga bahwa mereka menggunakan konsep “Arsitek Agung Alam Semesta” dengan merujuk kepada evolusi materi:
Saya ingin menyinggung secara amat singkat beberapa prinsip, pemikiran yang diadopsi oleh
kaum Mason: Menurut Masonry, kehidupan bermula dari sebuah sel tunggal, berubah, bertransformasi
dan berevolusi menjadi manusia. Sifat, penyebab, tujuan, atau kondisi dari permulaan ini tidak diketahui. Kehidupan datang dari kombinasi materi dan energi dan kembali kepadanya. Jika kita
menerima sang Arsitek Agung Alam Semesta sebagai suatu prinsip yang luhur, suatu horison
kebaikan dan keindahan, puncak dari evolusi, tahapan tertinggi dan idealnya yang dituju oleh
kerja keras manusia, dan jika kita tidak membuatnya sesuai ukuran tertentu, kita mungkin terselamatkan dari dogmatisme.
Sebagaimana kita pahami, filosofi Masonik memunyai salah satu prinsip paling dasar bahwa
segala sesuatu berasal dari materi dan kembali kepada materi. Segi menarik dari pandangan ini adalah
bahwa kaum Mason tidak menganggap filosofi ini khusus bagi diri mereka saja, mereka ingin
menyebarkan pemikiran ini kepada keseluruhan masyarakat. Isindag melanjutkan:
Seorang Mason yang terlatih dengan prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin ini menerima tugas untuk
mendidik masyarakat… dan untuk memajukan mereka dengan mengajarkan prinsip-prinsip logika
dan sains positif kepada mereka. Dengan begitu, Masonry disampaikan kepada masyarakat. Ia bekerja atas nama masyarakat tanpa menghiraukan masyarakat.
Kata-kata ini menunjukkan dua aspek peran Masonry yang dirasakan di masyarakat;
1. Di balik samaran sains positif dan logika, Masonry berusaha memaksakan filosofi materialis
yang dipercayainya (yakni, mitos Mesir Kuno) kepada masyarakat.
2. Mereka bermaksud melakukan ini tanpa menghiraukan masyarakat. Artinya, walaupun suatu
masyarakat memercayai Tuhan dan tidak berminat menerima filosofi materialis, Masonry akan berkeras
dengan upaya mengubah pandangan masyarakat tanpa persetujuan mereka.
Ada hal penting lainnya yang harus diperhatikan di sini: terminologi yang digunakan kaum
Mason kerap memerdaya. Di dalam tulisan-tulisan mereka, terutama yang ditujukan kepada masyarakat
selebihnya, bahasa yang mereka gunakan dirancang untuk menunjukkan bahwa filosofi mereka tidak
berbahaya, cerdas, dan toleran. Contohnya dapat dilihat pada kutipan di atas, di dalam gagasan
“memajukan masyarakat dengan mengajarkan prinsip-prinsip logika dan sains positif”. Nyatanya,
filosofi Masonik tidak ada hubungannya dengan “sains dan logika”; ia adalah sebuah mitos kuno yang
terbang di depan wajah sains. Tujuan Masonry bukanlah untuk memajukan masyarakat; namun untuk
memaksakan filosofi mereka kepada masyarakat. Ketika mereka menyatakan bahwa mereka bertekad
untuk melakukan ini tanpa menghiraukan masyarakat, kita saksikan bahwa mereka tidaklah toleran,
namun berpandangan totaliter.

II. PENOLAKAN AKAN KEBERADAAN RUH DAN AKHIRAT

Sebagai bagian dari keyakinan materialis mereka, kaum Mason tidak menerima keberadaan roh
manusia dan menolak sepenuhnya gagasan tentang hari akhirat. Walau demikian, tulisan-tulisan
Masonik terkadang menyebut tentang mereka yang meninggal “telah melangkah ke keabadian” atau
ungkapan spiritual sejenisnya. Mungkin tampaknya bertolak belakang, tetapi sebenarnya tidak, karena semua rujukan Masonry kepada keabadian ruh adalah simbolik. Mimar Sinan menyinggung topik ini di
dalam sebuah artikel bertajuk, “Setelah Kematian menurut Masonry”:
Di dalam mitos Master Hiram, kaum Mason meyakini kebangkitan setelah mati secara simbolik.
Kebangkitan ini menunjukkan bahwa kebenaran selalu menang atas kematian dan kegelapan. Masonry
tidak menganggap penting keberadaan roh yang berada di luar jasad. Di dalam Masonry,
kebangkitan setelah kematian adalah dengan meninggalkan karya spiritual dan material sebagai
warisan kepada umat manusia. Inilah yang mengekalkan manusia. Barang siapa yang tidak mampu
mengabadikan nama di kehidupan manusia yang jelas-jelas singkat ini adalah orang yang gagal. Kita
menganggap barang siapa yang telah mengabadikan nama sebagai mereka yang telah mengerahkan
segenap daya upayanya, baik bagi orang-orang sezamannya maupun generasi setelah mereka, untuk
memberi kebahagiaan dan memastikan sebuah dunia yang lebih ramah bagi manusia. Tujuan mereka
adalah untuk memuliakan gerak hati yang ramah yang memengaruhi kehidupan manusia.… Manusia
yang telah berupaya selama berabad-abad untuk memperoleh kekekalan dapat mencapainya dengan
karya yang ia lakukan, pelayanan yang ia berikan, serta pemikiran yang ia hasilkan; dan ini akan
memberi arti pada kehidupannya. Seperti dijelaskan oleh Tolstoy, “Surga akan tercipta di dunia ini dan
manusia akan mencapai kebajikan tertinggi yang dapat diraih”
Tentang topik serupa, Imam Mason Isindag menulis: HAKIKAT SEGALA SESUATU: Masonry memahami ini sebagai energi dan materi. Mereka berkata bahwa segala sesuatu berubah tahap demi tahap dan akan kembali kepada materi: Secara ilmiah, ini didefinisikan sebagai kematian. Mistisisme tentang hal ini, yaitu kepercayaan tentang kedua daya yang membentuk manusia — roh dan jasad — bahwa tubuh akan mati dan roh tetap hidup; bahwa roh itu berpindah ke alam roh, meneruskan keberadaan mereka di situ dan kembali ke tubuh lainnya jika Tuhan berkehendak, tidak sesuai dengan gagasan perubahan-transformasi yang diyakini oleh Masonry. Gagasan Masonry tentang hal tersebut dapat diungkapkan seperti ini: “Setelah kematian, satu-satunya hal yang tersisa dari Anda, dan tidak mati, adalah kenangan tentang kedewasaan Anda dan apa yang telah Anda capai.” Gagasan ini adalah semacam cara berpikir filosofis yang didasarkan atas prinsip-prinsip sains positif dan logika. Keyakinan religius tentang keabadian roh dan kebangkitan kembali setelah mati tidak bersesuaian dengan prinsip-prinsip positif.
Masonry telah mengambil prinsip-prinsip pemikiran dari sistem filosofis rasional dan positif. Maka, dalam pertanyaan filosofis ini, Masonry memunyai cara berpikir dan penjelasan yang berbeda dari
agama. Mengingkari kebangkitan setelah mati dan mencari kekekalan dengan warisan duniawi…. Bahkan
jika kaum Mason menampilkan gagasan ini seakan bersesuaian dengan sains modern, nyatanya ia tak
lain dari mitos yang dipercayai oleh orang-orang tak bertuhan sejak abad-abad awal sejarah. Al Quran
menyebutkan tentang orang-orang yang tak bertuhan sebagai “mendirikan bangunan-bangunan indah
dengan maksud supaya kekal.” Hud (’alaihi salam), salah seorang nabi di masa silam, memperingatkan
kaum ‘Ad akan bentuk kejahilan ini, sebagaimana ayat-ayat berikut:

Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan kepadamu,
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main,
dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal?
Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis.
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku." (QS. Asy-Syu'araa, 26: 124-131)

Kesalahan yang dilakukan kaum tak bertuhan ini bukanlah mendirikan gedung-gedung indah.
Umat muslim juga memandang seni sebagai sesuatu yang penting; dengan membuatnya, mereka
mencoba memperindah dunia. Perbedaannya terletak pada niat. Seorang muslim yang tertarik akan seni
sejauh itu mengekspresikan keindahan dan gagasan estetik yang telah diberikan Allah kepada manusia.
Orang-orang yang tak bertuhan keliru dengan menganggap seni sebagai sebuah jalan menuju kekekalan.

KEGANJILAN ILMIAH DARI PENGINGKARAN JIWA

Penolakan kaum Mason atas keberadaan roh, dan klaim mereka bahwa kesadaran manusia
tersusun dari materi, tidak bersesuaian dengan sains. Sebaliknya, penemuan-penemuan ilmiah modern
menunjukkan bahwa kesadaran manusia tidak dapat direduksi menjadi materi, dan bahwa kesadaran
tidak dapat dijelaskan dengan syarat-syarat fungsi otak.
Pengamatan atas literatur yang relevan menunjukkan bahwa para ilmuwan tidak mencapai
kesimpulan apa pun sebagai hasil upaya mereka, yang didorong oleh keyakinan materialis, untuk
mereduksi kesadaran menjadi otak, dan banyak yang akhirnya menyerah. Saat ini, banyak peneliti yang
berpendapat bahwa kesadaran manusia datang dari sebuah sumber yang tak diketahui di luar neuron-neuron di dalam otak dan molekul-molekul serta atom-atom yang membentuk mereka.
Setelah kajian bertahun-tahun, salah seorang peneliti, Wilder Penfield, mencapai kesimpulan
bahwa keberadaan ruh adalah fakta yang tak terbantahkan:
Setelah bertahun-tahun berupaya keras untuk menjelaskan pikiran berbasiskan kegiatan otak saja,
saya mencapai kesimpulan bahwa lebih sederhana (dan jauh lebih mudah menjadi logis) jika kita
mengambil hipotesis bahwa keberadaan kita memang meliputi dua unsur fundamental (otak dan pikiran
[atau jiwa]).… Karena tampaknya pasti bahwa untuk menjelaskan pikiran dengan basis kegiatan neuron
di dalam otak akan selalu sangat mustahil…. Saya terpaksa memilih dalil bahwa keberadaan kita
akan terjelaskan atas landasan dua unsur fundamental. [otak dan pikiran, atau tubuh dan jiwa].
Yang membawa para ilmuwan kepada kesimpulan ini adalah fakta bahwa kesadaran tidak akan
pernah dapat dijelaskan dengan ketentuan-ketentuan berbagai faktor materi belaka. Otak manusia
bagaikan sebuah komputer yang luar biasa, tempat informasi dari pancaindera kita dikumpulkan dan
diproses. Namun, komputer ini tidak memunyai perasaan “diri”; ia tidak dapat memahami, merasa, atau
berpikir tentang sensasi yang diterimanya. Ahli fisika Inggris terkemuka, Roger Penrose, di dalam
bukunya The Emperor's New Mind, menuliskan:
Apa yang memberikan seseorang identitas pribadinya? Apakah, hingga batas tertentu, atomatom
yang menyusun tubuhnya? Apakah identitasnya tergantung pada pilihan tertentu elektron, proton, dan partikel lainnya yang menyusun atom itu? Setidaknya ada dua alasan mengapa hal ini tidak
mungkin. Pertama, terjadi pergantian yang terus-menerus pada material tubuh setiap manusia yang
hidup. Ini terjadi terutama pada sel-sel pada otak seseorang, walaupun faktanya tidak ada sel-sel otak
yang benar-benar baru yang diproduksi setelah lahir. Kebanyakan atom di dalam masing-masing sel
hidup (termasuk setiap sel otak) dan tentu saja sebenarnya, keseluruhan material tubuh kita telah
berganti berulang kali sejak lahir. Alasan kedua datang dari fisika kuantum…. Jika elektron dari otak
seseorang dipertukarkan dengan elektron dari batu bata, maka keadaan sistem akan tepat sama
keadaannya dengan sebelumnya, tidak sekadar tak dapat dibedakan! Hal serupa berlaku bagi proton dan
jenis partikel apa saja, dan untuk keseluruhan atom, molekul, dan seterusnya. Jika keseluruhan
kandungan material seseorang dipertukarkan dengan partikel yang sepadan pada batu bata
rumahnya, maka dalam pengertian yang kuat, tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi.
Penrose jelas-jelas mengatakan bahwa jika semua atom manusia dipertukarkan dengan atom batu
bata, kualitas yang membuat seseorang manusia berkesadaran akan tetap sama. Atau kita dapat balikkan.
Jika kita pertukarkan partikel-partikel atom di otak dengan atom di batu bata, tidaklah batu bata itu akan
memiliki kesadaran.
Singkatnya, yang membuat seseorang menjadi manusia bukanlah sifat material; namun sifat
spiritual, dan jelaslah bahwa sumbernya adalah suatu entitas yang berada di luar materi. Pada
kesimpulan bukunya, Penrose berkomentar:
Kesadaran bagi saya merupakan suatu fenomena penting yang tak dapat saya percayai begitu saja
sebagai sesuatu yang “secara kebetulan” muncul dengan perhitungan yang rumit. Ini adalah fenomena
untuk mengetahui keberadaan alam semesta itu sendiri.
Lalu apa pendirian materialisme di bawah sorotan berbagai temuan ini? Bagaimana mungkin
kaum materialis mengklaim bahwa manusia tersusun semata dari materi, dan bahwa seorang manusia
dengan kecerdasan, perasaan, pemikiran, ingatan, dan indera, dapat muncul melalui komposisi kebetulan
dari atom-atom yang tidak hidup dan tanpa kesadaran? Bagaimana mereka dapat berpikir bahwa proses
sedemikian itu mungkin terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting bagi semua materialis. Namun, berbagai tulisan Masonik
dengan topik-topik ini berisi gagasan-gagasan yang jauh lebih aneh dari apa yang ditemukan pada
tulisan kaum materialis. Jika kita amati berbagai tulisan ini, kita melihat dengan jelas bahwa di balik
filosofi materialis terdapat “penyembahan materi”.

http://www.harunyahya.com

Leave a Reply